Kecenderungan untuk menekankan positivitas secara berlebihan yang dapat mengabaikan emosi negatif yang sah.
“Toxic positivity” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sikap atau pandangan yang secara berlebihan mengutamakan sikap positif dalam setiap situasi, sampai-sampai menolak, menekan, atau mengabaikan emosi negatif yang nyata dan sah. Pendekatan ini bisa menjadi berbahaya karena mendorong individu atau orang lain untuk selalu tampak bahagia dan tidak mengakui masalah atau perasaan yang tidak menyenangkan, yang pada akhirnya bisa menghambat pemrosesan emosional yang sehat.
Dalam praktiknya, toxic positivity bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti memberi nasihat agar selalu “melihat sisi terang” atau “hanya berpikir positif” tanpa mendukung pemrosesan emosi negatif yang mungkin sedang dialami seseorang. Ini sering terjadi dalam interaksi sosial, di tempat kerja, atau bahkan dalam konteks kesehatan mental, di mana tekanan untuk tampak baik-baik saja menghalangi orang dari mencari bantuan atau mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka.
Jika ada seseorang yang sedang melewati masa-masa sulit dan mengekspresikan perasaannya, maka tanggapan yang bersifat toxic positivity adalah dengan berkata, “Berpikir positif sajalah! Segala sesuatu terjadi pasti ada alasannya.” Tanggapan semacam ini mengesampingkan perasaan orang tersebut dan menunjukkan bahwa orang tersebut tidak seharusnya merasa seperti itu. Hal ini dapat membuat orang lain merasa tidak dihargai dan tidak didengar. Tanggapan seperti itu malah dapat menghalangi seseorang untuk mencari bantuan yang mereka butuhkan untuk dapat sembuh atau keluar dari masa sulit yang sedang dihadapi.